Vabru-nv

Sejarah Bersama Kekerasan Massal Menghantui Indonesia

Sejarah Bersama Kekerasan Massal Menghantui Indonesia

Sejarah Bersama Kekerasan Massal Menghantui Indonesia – Pameran Revolusi Indonesia yang baru dibuka di Museum Kerajaan Belanda (Rijksmuseum) di Amsterdam dapat mewakili langkah lain untuk meningkatkan persahabatan antara dua mantan musuh.

Sejarah Bersama Kekerasan Massal Menghantui Indonesia

Pemerintah Indonesia memberikan dukungan dengan pinjaman bahan untuk dipajang, sementara museum mengundang dua orang Indonesia untuk bergabung dengan tim empat kurator.

Sayangnya, bahkan sebelum dibuka, pameran itu mendapat reaksi keras. Para kurator menghadapi dua tuntutan hukum yang berlawanan di Belanda.

Insiden tersebut dipicu oleh perdebatan penggunaan kata “Bersiap”, menyusul bantahan keras dari salah satu kurator Indonesia sejarawan Bonnie Triyana melalui sebuah artikel opini yang dimuat di media lokal.

Bersiap (harfiah “bersiap-siap”) biasanya digunakan dengan pengertian politik yang sempit, mengacu pada kekerasan massal “anti-kolonial” yang dilakukan oleh pihak terjajah terhadap penjajah Belanda dan sekutu mereka.

Mengadopsi arti sempit yang sama, Bonnie berpendapat bahwa penggunaan kata itu rasis. Namun, dengan bukti rinci, sejarawan lain menunjukkan bahwa pandangan sempit tentang Bersiap sangat bermasalah.

Meskipun, jaksa penuntut umum Belanda menolak semua tuntutan hukum pekan lalu, insiden tersebut menunjukkan bagaimana kekerasan besar di masa lalu terus menghantui kedua negara. Itu tidak dapat sepenuhnya dihapus dari ingatan publik, atau didiskusikan secara terbuka tanpa membangkitkan reaksi emosional.

Bersiap : sejarah yang kompleks dan kacau

Kunci untuk memahami masalah yang berlarut-larut adalah mengkaji dikotomi yang kuat namun berbahaya yang melukiskan sejarah Indonesia-Belanda sebagai “baik versus jahat” atau “kita versus mereka”.

Dikotomi tersebut terlalu menyederhanakan periode kekacauan dan kekerasan antara akhir pendudukan Jepang (1945) dan pembentukan tatanan sosial di Indonesia merdeka (1950). Ini menghapus peristiwa penting dan orang-orang dalam periode ini yang tidak cocok dengan salah satu dari dua kategori yang berlawanan.

Salah satu contoh paling jelas dari masalah ini adalah nasib orang Eurasia (anak-anak dari orang tua campuran Eropa-lokal), yang sering disebut Indo di Indonesia dan Indisch di Belanda. Komunitas ini adalah target utama kekerasan Bersiap, namun seringkali dilupakan di tengah permainan menyalahkan Indonesia-Belanda.

Sampai hari ini, sentimen nasionalis yang begitu kuat masih ada di Indonesia.

Pada kenyataannya, pelaku Bersiap, beserta motif dan korbannya, beragam dan tidak selalu mudah diidentifikasi.

Selain tindakan politik, tampaknya ada campuran banyak hal: kebencian rasial, kekerasan seksual, penjarahan barang-barang berharga, bersama dengan ketegangan sosial dan kelas, bukannya sentimen politik atau rasial murni.

Sebagian besar laporan insiden mengidentifikasi “Indo” sebagai target utama Bersiap. Yang lain menyarankan jumlah korban di antara orang Indonesia lokal mungkin lebih besar.

Seperti dalam kontestasi politik lainnya, ada warga negara Indonesia dan Belanda yang berpikiran terbuka yang sadar bahwa sejarah manusia tidak pernah menjadi karikatur kebaikan dan kejahatan. Namun, seperti kebanyakan kontroversi di seluruh dunia, mereka yang berpandangan ekstrem sering mendominasi debat publik.

Tanggapan publik Belanda terhadap kontroversi Bersiap pun beragam. Namun keragaman pandangan seperti itu sering hilang di sebagian besar laporan media Indonesia dan diskusi yang mereka hasilkan.

Sejarah Bersama Kekerasan Massal Menghantui Indonesia

Bersiap hanyalah bagian dari kisah kekerasan massal yang lebih besar selama tahun 1940-an. Yang terakhir itu sendiri adalah bagian dari cerita yang lebih besar tentang kolonialisme dan dekolonisasi yang berusia berabad-abad.

Apa yang membuat Bersiap sedikit berbeda adalah ketidakhadirannya dalam sejarah resmi Belanda dan Indonesia.